parenting ala ustadz fauzil Adhim (bag 2)


4. Bahagiakan Mereka, Nyalakan Semangatnya
TIDAK ada anak yang bandel. Kitalah yang tidak tahu bagaimana mengajak bicara, menyemangati, dan memberikan arah hidup bagi mereka. Kitalah yang lupa untuk bermain bersama, bercanda, dan bercerita agar hati mereka dekat dengan kita. Padahal kita tahu kedekatan hati itulah yang membuat anak akan mendengar kata-kata kita.

Tidak ada anak yang bodoh. Kitalah yang tidak mengerti bagaimana merangsang kecerdasan dan menggairahkan minat belajar mereka. Setiap anak–asal normal—lahir dalam keadaan jenius dan penuh rasa ingin tahu. Kitalah yang mematikannya dengan hadiah-hadiah, bahkan di saat mereka tidak menginginkannya.

Kita lupa bahwa anak-anak pada awalnya tidak memerlukan hadiah untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Tanpa hadiah, anak-anak tetap bersemangat belajar merangkak dan berjalan, meski harus beberapa kali tersungkur.

Anak-anak tidak pernah meminta uang untuk satu kosa kata baru yang mereka kuasai di waktu kecil. M
ereka belajar karena ingin tahu. Mereka melakukan hal-hal besar yang bermanfaat karena bersemangat. Bukan karena menghindari hukuman. Bukan juga untuk mengharap imbalan.

Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat semangatnya menyala-nyala sesudah kita berkali-kali mematikannya? Apa yang bisa kita perbuat agar anak-anak memiliki semangat berkobar-kobar?
__________________
Bahagiakanlah, Muliakanlah

Bahagiakanlah mereka, insya Allah di dada mereka akan ada semangat yang menyala-nyala.

Muliakanlah, insya Allah mereka akan memuliakan dan mendengar kata-kata kita.

Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “
Hati diciptakan dengan karakter yang mencintai orang yang memuliakannya dan membenci orang yang menghinakannya.”

Kita bisa belajar dari nasihat Ibnu Mas’ud. Pertama, muliakanlah anak dan bahagiakan mereka, niscaya mereka akan memuliakan kita, mendengar kata-kata kita, dan mengarahkan dirinya untuk menjadi seperti “yang seharusnya”. Bagaimana seharusnya mereka, sangat berkait dengan apa yang kita ajarkan kepada mereka.

Kedua, kenalkanlah kemuliaan Allah, sifat pemurah, dan keagungan Allah yang menciptakan manusia dari segumpal darah, insya Allah mereka akan lebih dekat hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan membebani dengan perintah-perintah untuk tunduk kepada-Nya agar mereka disayang dan doa-doa dikabulkan. Sebab, manusia cenderung memuliakan yang memuliakannya. Bukan mengagungkan kepada yang membalasi kebaikannya.

Bukankah Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Menciptakan dan Yang Maha Pemurah pada firman-Nya yang pertama kali turun? “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-‘Alaq: 1-5)

Alhasil, ketika anak-anak kita ajari berdoa, mereka yakin bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak sia-sia berdoa kepada Yang Maha Baik. Justru karena mengetahui Allah Maha Pemurah, insya Allah mereka lebih sungguh-sungguh berharap dan meminta.

Sayangnya, selama ini kita lebih sering memperkenalkan Allah dengan cara yang menyeramkan. Kita ajari mereka berbuat baik dan berdoa seolah-olah Allah tidak akan menurunkan rahmat dan nikmat-Nya kecuali setelah kita berbuat baik. Lalu, bagaimana mungkin kita berharap mereka menjadi orang-orang yang bersyukur dan bersungguh-sungguh mengelola hidupnya jika cara awal kita sudah salah?

Astaghfirullahal-‘adziim. Agaknya, banyak sekali kesalahan yang kita lakukan terhadap anak-anak. Agaknya kita perlu meminta keikhlasan mereka untuk memaafkan dan memperbaiki cara kita mendidik, agar kelak mereka tak menyesal mempunyai orangtua seperti kita.
__________________
Waktu, Bukan Uang!

Saya teringat ucapan Garry Martin dan Grayson Osborne. Psikolog dan penulis buku Psychology Adjustment and Everyday Living ini berkata, “Manfaatkanlah waktu yang ada. P
ertama, janganlah mempunyai anak bila Anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika Anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang Anda setujui dari tingkah laku anak-anak Anda. Jauh lebih baik lagi jika Anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi.”

Ya......, waktu! Bukan uang. Bukan benda-benda.
Waktu untuk memberi perhatian, berbincang bersama, memberi kehangatan, bercanda, waktu untuk menyampaikan pesan dengan cara yang bersahabat dan penuh kehangatan, serta waktu untuk bermain dan bersujud bersama.

Inilah yang diberikan oleh Rasulullah kepada anak-anak. Rasulullah bercanda, bermain kuda-kudaan, dan memberi julukan-julukan yang baik kepada anak. Inilah yang membuat anak-anak di masa itu tumbuh sebagai pribadi penuh percaya diri dan bersemangat tinggi.

Selebihnya,
kita bisa memberikan hadiah kepada anak-anak bukan sebagai perangsang agar berbuat baik, melainkan sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang. Ini berarti menuntut cinta tanpa syarat. Kita berikan hadiah kepada anak-anak secara adil dan merata, sehingga mereka merasakan betapa orangtuanya sangat pemurah dan memuliakan. Kita beri hadiah karena mencintainya, bukan imbalan atas apa yang mereka kerjakan.

Jika kita berikan hadiah karena mereka berbuat baik, lalu mana yang menunjukkan tulusnya cinta kita kepada mereka? Atas dasar apa kita menuntut yang lebih dari mereka? Bukankah pemberian kita merupakan harga yang pas atas tindakan mereka?

Astaghfirullahal-‘adziim. Alangkah banyak kekeliruan kita. Alangkah sedikit ilmu yang kita siapkan untuk membangun satu generasi. Padahal dari generasi itu, barangkali akan menentukan karakter generasi berikutnya hingga beratus tahun sesudah kita tiada.

Ya Allah, ampunilah kami yang tak memiliki bekal apa-apa untuk menjadi orangtua.

Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dengan memberikan kemuliaan kepada mereka.

Nak, maafkanlah bapakmu ini. Bersabarlah atas kebodohan dan kezhaliman orangtua kalian. Semoga kelak Allah meninggikan derajatmu dan memuliakanmu dengan surga-Nya yang tertinggi. Allahumma amin.
__________________

5. Saat Menegangkan sebagai Orangtua

Pernah ribut dengan anak? Kita merasa sudah menasihati, mewanti-wanti, dan menjelaskan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak, tetapi anak masih saja melakukan hal-hal yang tak terduga. Urat syaraf kita menegang karena anak membangkang. Ada sebagian orangtua yang menangis karena merasa anaknya tak mengerti kemauan orangtua. Padahal sudah banyak diingatkan, dimarahi, bahkan dihukum.

Lonjakan tekanan emosi ini akan lebih menegangkan lagi ketika ada tamu datang ke rumah kita, sedang berbelanja di toko, atau saat melakukan perjalanan jauh bersama anak. Semenjak usia dua tahun, anak sepertinya tahu bahwa dalam situasi-situasi seperti itu kendali orangtua melemah. Ibu tak akan mengeluarkan teriakan yang menakutkan, bapak tidak mungkin berdiri mengacungkan tangan untuk memukul, seheboh apapun tingkah anak. Mereka tahu, orangtua kerap kali tak berdaya menghadapi tingkah anak–setidaknya selama tamu masih berada di rumah.
Memasuki usia dua tahun, anak memang berubah. Para ahli menggambarkan usia ini–sampai sekitar empat atau lima tahun—sebagai the terrible twos (dua tahun yang mengerikan). Anak-anak semula begitu menyenangkan, mudah diatur, membuat kita bahagia karena tingkahnya yang lucu menggemaskan, begitu memasuki usia dua tahun berubah menjadi ketegangan, mulai menunjukkan keakuan, tak jarang menampakkan “perlawanan” dan mulai ingin mengatur lingkungan. Usia dua tahun adalah usia paling lucu sekaligus membuat kita sulit tertawa. Ia ingin diperhatikan dan terutama dilibatkan. Itulah sebabnya anak bertingkah heboh.

Setidaknya ada dua hal yang membuat anak seperti itu.

Pertama, anak ingin mendapat perhatian dan penerimaan dari orang lain, misalnya tamu.
Tingkahnya akan lebih heboh lagi bila ia merasa di-persona-non-grata-kan (tidak disenangi) atau merasa tidak dianggap manusia. Ia merasa sudah melakukan yang terbaik, berlari keluar untuk menyambut tamu, berinisiatif menanyakan nama dan alamat, tetapi tamu yang datang menampakkan sikap tidak membutuhkan anak kecil itu.


Kedua, anak merasa kehilangan perhatian dari orangtua saat tamu datang.
Sebelum usia dua tahun, orangtua selalu melibatkannya, menceritakan tentang kelucuannya, menunjukkan kehebatan sekaligus mengajaknya berdialog di depan tamu. Tetapi begitu memasuki usia dua tahun, atau beberapa bulan sebelum itu, kita mulai “mengabaikan dia”. Atas sebab itu, anak bertingkah menghebohkan untuk merebut perhatian. Tentu saja ini harus dibedakan dengan perilaku anak yang memang gesit dan meriah gerak maupun suaranya, tak peduli ada tamu atau tidak. Hanya saja, saat ada tamu kita lebih sensitif mendengar teriakan mereka yang mengagetkan.

Sepanjang saya perhatikan, anak-anak cenderung lebih tenang apabila mereka merasa tamu datang tidak hanya membutuhkan orangtua mereka. Anak-anak itu menampakkan perilaku yang lebih kooperatif bila mereka ikut disapa–satu atau dua menit—sebelum berbicara dengan orangtua.

Sikap orangtua terhadap anak juga turut berpengaruh. Kalau anak-anak disuruh masuk seketika, begitu ada tamu datang, kerapkali yang terjadi adalah ketegangan yang melelahkan. Saat-saat menemui tamu penuh pergolakan untuk menahan diri dan gusar dengan teriakan anak. Sebaliknya,
ketika kita memiliki sedikit waktu untuk berbicara baik-baik dengan mereka, memberi pengertian dengan menceritakan siapa tamu yang datang dan apa keperluannya, anak cenderung lebih bisa menempatkan diri.


Jarang-seringnya tamu datang juga mempengaruhi dahsyat-tidaknya perilaku anak. Anak-anak yang di rumahnya sering kedatangan tamu, akan lebih tenang dibanding mereka yang jarang menerima tamu. Begitu ada yang datang, bagai musim kemarau disiram hujan, anak-anak itu segera berteriak lantang, bertingkah dengan selepas-lepasnya dan sibuk mencari perhatian. Tingkah anak yang memusingkan itu akan lebih menegangkan lagi jika tamu datang di saat anak sedang mempunyai permintaan dan tidak dituruti oleh orangtua. Kesempatan yang sangat bagus untuk memaksa orangtua.


_
__________________
Khusus berkait dengan rengekan anak saat tamu datang, ada yang perlu kita perhatikan. Tak jarang orangtua menyerah hanya demi “menjaga nama baik”, padahal dampaknya sangat buruk. Kadang orangtua menolak membelikan es krim dengan alasan tidak punya uang. Ketika anak merengek atau menangis, orangtua bersikeras tidak mau membelikan. Tetapi begitu rengekan dilakukan di hadapan tamu, segera keluar uang “pembungkam mulut”. Anak memang seketika terdiam, tetapi pada saat yang sama mencatat setidaknya mencatat empat pelajaran penting yang berbahaya.

Pertama, anak belajar berbohong dengan contoh nyata dari orangtua. Bukankah tadi orangtua mengatakan tidak punya uang? Dan bukankah orangtua ternyata dapat memberinya uang saat tamu datang? Padahal tamu datang tidak membawakan uang untuk orangtua.

Kedua, anak belajar memaksa dengan menggunakan tangis dan kekerasan. Ketika ia meminta baik-baik, orangtua tidak menuruti. Tetapi begitu ia berteriak keras, menangis, bila perlu mengamuk, orangtua segera menuruti. Pengalaman yang sangat berkesan sehingga layak menjadi “pegangan” dalam menghadapi orangtua.


Ketiga, anak belajar mempermalukan orangtua dan kelak orang lain–na’udzubillahi min dzalik—demi memperoleh apa yang diinginkan.
Belajar dari pengalaman di depan tamu, anak menemukan pelajaran bahwa yang membuat orangtua bersegera menuruti adalah rasa malu. Orangtua tidak ingin kehilangan muka di hadapan tamu.

Keempat, anak belajar tidak mempercayai orangtua. Orangtuanya mengatakan tidak punya uang, tetapi ternyata mampu memberi uang saat tamu datang. Berarti orangtua telah berbohong, tidak berbicara dengan qaulan sadida (perkataan yang benar) sebagaimana diwasiatkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Quran. Cara menampik keinginan anak tidak dilakukan dengan alasan yang benar, alasan yang mendidik anak, tetapi dengan alasan yang diada-adakan. Tidak punya uang memang alasan yang paling mudah kita cari, terutama bagi para orangtua yang malas berpikir jernih.


_
__________________
Agar ingatan kita lebih segar dan bekasnya di hati lebih kuat, mari kita simak kembali wasiat Allah Ta’ala:

“Dan hendaklah orang-orang pada takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah, dan mencemaskan (merasa ketakutan) akan mereka.
Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan qaulan sadidan (perkataan yang benar).” [An-Nisaa’: 9]

Masya Allah! Begitu kecil kelihatannya, namun begitu besar akibat yang ditimbulkan oleh kata-kata yang salah. Berawal dari hilangnya kesabaran dan keinginan untuk menyelesaikan masalah dengan segera (isti’jal), kita dapat menuai akibat yang sangat panjang. Hanya karena kita tak tahan mendengar tangisan, kita bisa menuai airmata tak habis-habisnya. Hanya karena malu di depan tamu atau pengunjung supermarket yang sebenarnya tidak saling kenal, kita bisa menanggung malu yang lebih besar. Na’udzubillahi min dzalik, tsumma na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah Yang Membolak-balikkan Hati, membaguskan akhlak anak-anak kita, memelihara iman mereka, dan meneguhkan kepercayaan mereka kepada kita selaku orangtua. Allahumma amin.

Bicara tentang kata, teringatlah saya kepada Bob Greene, yang pernah menulis artikel rangkuman dari bukunya berjudul He was a Midwestern Boy on His Own. Dalam artikel yang berjudul What Words Can Do (Apa yang Bisa Dilakukan oleh Kata-kata), Bob Greene menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kata. Kata Greene,
“Terkadang, bahkan sesuatu yang paling sederhana pun membawa akibat yang selama-lamanya.”

Agaknya, ada yang perlu kita benahi kembali dalam hati kita, jiwa, ilmu pengetahuan, serta sikap kita. Sungguh, pada mulut kita terletak surga dan neraka kita, sekaligus surga dan neraka anak-anak kita. Maka apakah yang sudah kita lakukan?

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membaguskan kita, keluarga, orangtua, dan keturunan kita seluruhnya. Semoga Allah Ta’ala ampunkan yang salah dan tinggikan apa yang benar dari langkah-langkah kita mempersiapkan anak-anak menjadi penolong agama-Nya. Allahumma amin.






6. Memahami Perilaku Anak

Setiap anak memilih perilakunya sendiri. Salah satu bukti yang mudah kita jumpai adalah, a
nak berperilaku secara berbeda terhadap orang yang berbeda, sekalipun itu orangtuanya sendiri. Anak bisa menunjukkan perilaku manja ketika sedang berhadapan dengan ibunya, tetapi mungkin berbeda 180 derajat tatkala berbicara dengan bapaknya. Perbedaan pola perilaku ini bisa sangat mencolok, bisa tipis sekali. Semakin tipis perbedaannya, anak akan semakin mudah mengembangkan pola perilaku positif bagi dirinya sendiri. Dan ini memudahkan terbentuknya budaya keluarga yang sehat dan produktif.

Sebaliknya, semakin besar perbedaan pola perilaku dalam menghadapi ayah dan ibunya, semakin sulit anak mengembangkan karakter yang kuat. Sebab, anak sibuk menemukan taktik menghadapi orangtua demi memperoleh apa yang diharapkan. Mengapa anak berperilaku secara berbeda pada kedua orangtuanya? Karena kita juga mengembangkan sikap yang berbeda terhadap mereka. Ayah tidak satu sikap dengan ibu. Atau mereka satu sikap, tetapi perilaku mereka saling bertolak belakang dalam menghadapi anak. Begitu pula disiplin terhadap prinsip yang ingin ditegakkan.

Padahal anak adalah pembaca perilaku yang sangat jeli. Ia bisa segera menentukan pola perilaku apa yang harus dikembangkan ketika menghadapi ibu yang semacam ini, begitu pula ketika menghadapi bapaknya yang memiliki kecenderungan sikap berbeda. Ketika meminta dibelikan sesuatu, seorang anak mungkin akan langsung marah-marah ketika berhadapan dengan bapaknya, tetapi ia menunjukkan sikap yang manis merayu kepada ibunya.

Apakah ayah dan ibu tidak boleh berbeda gayanya dalam menghadapi anak? Boleh-boleh saja. Bagaimana pun kita berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda dengan pengalaman pengasuhan yang juga sangat berbeda. Menyamakan gaya dalam menghadapi anak juga bisa membuat masing-masing stress atau bahkan saling menyalahkan. Apalagi jika salah satu atau keduanya dibesarkan dalam budaya menyalahkan orang lain ketika menghadapi kesulitan. Hanya saja, sekalipun ada perbedaan gaya dan cara, tapi menghadapi anak harus satu arah. Ayah-ibu satu kata dalam prinsip, satu kata pula ketika sebuah keputusan telah diambil dalam keluarga. Ringkasnya,
gaya boleh berbeda, tetapi sikap tetap senada dan prinsip harus sama.

Ini menunjukkan bahwa mendidik bukan hanya soal bagaimana menghadapi anak. Lebih dari itu, bekal awal mendidik anak adalah keluarga bahagia yang berdiri di atas nilai-nilai yang kokoh.

‘Alaa kulli haal, ada yang perlu kita pahami tentang perilaku anak. A
da tiga tujuan perilaku anak, yakni untuk memiliki perasaan mampu (capable), menjalin hubungan yang positif dan akrab dengan orangtua maupun anggota keluarga di rumah serta orang lain, dan mempunyai peran yang berarti. Jika anak memiliki ketiga-tiganya, insya Allah mereka akan tumbuh baik, bersemangat dan produktif. Sebaliknya, jika salah satunya bermasalah bisa memunculkan kenakalan anak. Artinya, bisa saja anak tidak nakal meskipun ada salah satu atau bahkan ketiganya yang rendah. Tetapi ini sebatas tidak nakal semata.
Lebih jelasnya, mari kita perbincangkan satu per satu:
__________________
Cerdas Belum Tentu Mampu

Tujuan pertama perilaku anak adalah memiliki perasaan mampu. Ini berkait dengan keyakinan terhadap kemampuan dirinya sendiri dan peluangnya untuk meraih kemampuan. Bukan kemampuan yang ia miliki atau prestasi yang telah ia raih. Anak yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuannya, meski prestasinya lebih rendah dibanding temannya, bisa jauh lebih berhasil.

Keyakinan yang tinggi memacu anak untuk berusaha dengan gigih, sehingga ia mampu menguasai apa yang sebelumnya terasa sulit. Sebaliknya, anak yang tidak memiliki perasaan mampu, akan mudah jatuh mentalnya dan kendor perjuangannya meskipun ia sebenarnya memiliki catatan prestasi yang sangat baik. Ia merasa tidak mampu bukan karena rendah hati (tawadhu’), melainkan karena rendah diri alias minder.

Pada anak-anak yang merasa tidak punya kemampuan dan dibarengi dengan prestasi yang rendah, mereka cenderung mengembangkan perilaku bermasalah. Inilah yang kerapkali kita sebut nakal. Perilaku bermasalah ini bisa muncul di rumah, di sekolah atau kedua-duanya. Yang jelas,
perilaku bermasalah ini terjadi demi menghindari kegagalan. Maksudnya, karena takut gagal maka mereka nakal agar orang maklum terhadap kegagalan mereka. Itu sebabnya kita mendapati bahwa anak nakal lebih berada di sekolah-sekolah tak bermutu daripada sekolah favorit penuh prestasi. Cuma kita sering keliru memahami. Kita mengira bahwa karena nakal, mereka tidak berprestasi. Padahal yang terjadi justru sebaliknya, yakni karena miskin prestasi maka mereka cenderung nakal.


Apa sebab anak-anak hebat tidak punya perasaan mampu?
Sebab utamanya, orangtua tidak menghargai usaha dan prestasi anak. Bentuknya bisa bermacam-macam. Yang paling umum ada dua. Pertama, membanding-bandingkan dengan saudaranya atau orang lain. Orangtua tidak memperhatikan seberapa gigih anak berusaha. Yang mereka urus hanyalah seberapa baik anak meraih prestasi, baik akademik di sekolah atau pun bidang lainnya. Padahal kita seharusnya menghargai usaha anak. Nilai enam yang diperoleh dengan belajar yang gigih jauh lebih layak untuk dihargai daripada nilai 8 tanpa usaha berarti.

Kedua, merendahkan kemampuan dan prestasi anak. Orangtua menunjukkan sikap merendahkan terhadap kemampuan anak, meskipun anak sudah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai yang terbaik. Kadang sikap merendahkan ini ditunjukkan orangtua karena prestasi anaknya memang kurang menggembirakan. Tetapi tidak jarang orangtua merendahkan prestasi anak, sehebat apa pun anaknya, dengan maksud agar anaknya terpacu untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi.
__________________
Menjalin Hubungan Baik
Selain memiliki perasaan mampu, t
ujuan perilaku anak adalah untuk memiliki hubungan dengan orangtua dan orang-orang yang ada di rumah. Pada anak-anak usia balita hingga 10 tahun, kita menjumpai kecenderungan anak untuk meninggikan suara apabila orangtua tidak menunjukkan perhatian ketika ia berbicara. Semakin mudah orangtua diajak komunikasi oleh anak, semakin cepat orangtua menanggapi ketika anaknya berbicara atau meminta perhatian, maka perilaku anak akan semakin terarah. Mereka mengembangkan pola komunikasi yang hangat dan luwes.

Agaknya, inilah yang perlu kita perbaiki. Misalnya ketika anak menunjukkan hasil karya berupa gambar, kita sering menanggapinya sambil lalu.
Kita merasa sudah memberi perhatian, tetapi anak merasakan betul bahwa kita sebenarnya tidak sungguh-sungguh memperhatikan. Inilah yang kemudian mendorong anak untuk bertingkah. Apalagi jika kemudian terbukti bahwa dengan bertingkah, orangtua memberi perhatian lebih besar. Tak penting, perhatian itu dalam bentuk positif atau negatif berupa kemarahan.

Punya Peran Berarti
Anak merasa berharga ketika ia memiliki peran. Sama-sama membersihkan rumah, beda sekali maknanya bagi anak antara sebagai tugas dengan sebagai kepercayaan. Anak merasa berharga jika ia yakin punya peran yang berarti dalam keluarganya. Hal yang sama juga berlaku dalam keluarga. Sebaliknya, meskipun yang dilakukan sama, anak cenderung merasa berat jika pekerjaan tersebut semata-mata merupakan perintah orangtua yang harus dikerjakan.

Ingin sekali saya berbicara lebih panjang tentang dua tujuan yang terakhir. Tetapi saya harus mengakhirinya karena keterbatasan tempat yang tersedia di majalah ini. Insya Allah pada lain kesempatan kita akan berdiskusi lebih panjang.
__________________


2 Response to parenting ala ustadz fauzil Adhim (bag 2)

adi
18 Agustus 2016 pukul 07.06

Assalamu'alaikum. Bagian 1 mana ya?

19 November 2016 pukul 17.29

Iyya Pak..bagian satunya dimana?

Posting Komentar